Halaman

Minggu, 12 Juni 2011

Fiqih Muamalah

1. a. Penyaluran atau pembagian zakat kepada mustahiq oleh BAZIS di daerah Bukit Cimanggu City Kelurahan Kedung Badak Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor bersifat hibah (bantuan) dan memperhatikan skala proritas kebutuhan mustahiq. Penyaluran dana zakat bersifat bantuan sesaat, yaitu membantu mustahiq dalam menyelesaikan atau mengurangi masalah yang sangat mendesak / darurat. Penyaluran dana zakat dapat bersifat bantuan pemberdayaan, yaitu membantu mustahiq untuk meningkatkan kesejahteraannya, baik secara perorangan maupun kelompok melalaui program atau kegiatan yang berkesinambungan. Penyaluran dana zakat memproritaskan kebutuhan mustahiq di wilayahnya masing-masing kecuali penyaluran dana zakat yang dilakukan oleh Badan amil Zakat Nasional dapat diberikan kepada mustahiq di seluruh Indonesia. Dana non zakat seperti Infaq, shadaqoh, hibah, waris, wasiat, dan kafarat diutamakan untuk usaha produktif. Dalam hal tertentu, Badan amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat menyalurkan dana zakat ke luar wilayah kerja, dengan terlebih dahulu mengadakan koordinasi dengan Badan Amil Zakat yang berada diatasnya atau yang berada di wilayah tersebut.
b. Menurut saya cara penyaluran atau pembagian zakat di daerah bogor tersebut sangat bagus sekali karena pembagiannya memperhatikan skala prooritas kebutuhan ustahiq, seperti pada penyaluran dana zakat bersifat bantuan sesaat, yaitu membantu mustahiq dalam menyelesaikan atau mengurangi masalah yang sangat mendesak / darurat. Dan penyaluran dana zakat dapat bersifat bantuan pemberdayaan, yaitu membantu mustahiq untuk meningkatkan kesejahteraannya, baik secara perorangan maupun kelompok melalaui program atau kegiatan yang berkesinambungan, itu akan sangat membantu sekali para mustahiq sehingga pembagian dan zakat itu begitu dirasakan oleh para mutahiq.
2. a. Hukum asal dalam muamalah adalah mubah (diperbolehkan) konsen fiqih muamalah untuk kmewujudkan kemasalahatan, menetapkan harga yang kompetitip, meninggalkan inrtervensi yang dilarang, mengahndarkan eksploitasi, memberikan kelenturan dan toleransi, jujur dan amanah.
b. Harta mutaqawim adalah sesuatu yang bisa diambil manfaatnya menurut syara, Harta yang Mutaqawim ini ialah semua harta yang mutaqawim ini ialah semua harta yang baik jenisnya Cara memperoleh dan penggunaannya.misalnya, kerbau halal dimakan oleh umat islam, tetapi Kerbau tersebut disembelih tidak sah menurut syara misalnya dipukul,maka daging kerbau itu Tidak bisa dimanfaatkan karena cara penyembelihannya batal menurut syara. Harta ghair mutaqawim kebalikan dari harta mutaqawim, yakni tidak boleh di ambil manfaaatnya Baik jenisnya, cara memperolehnya maupun cara penggunaannya. Misalnya babi termasuk harta Ghair mutaqawim, karena jenisnya, sepatu yang diperoleh dengan cara mencuri termasuk ghair Mutaqawim karena cara memperolehnya yang haram . uang disumbangkan untuk membangun Cara pelacuran, termasuk harta ghair mutaqawim karena penggunaannya itu.
c. al-maal gairu al mutaqawwim adalah harta yang belum diraih atau dicapai dengan suatu usaha, maksudnya harta tersebut belum sepenuhnya berada dalam genggaman kepemilikan manusia, seperti mutiara di dasar laut, minyak di perut bumi, dan lainnya

Atau harta tersebut tidak diperbolehkan syara' untuk dimanfaatkan, kecuali dalam keadaan darurat, seperti minuman keras. Bagi seorang muslim, harta gairu al mutaqawwim tidak boleh dikonsumsi, kecuali dalam keadaan darurat. Namun demikian, yang diperbolehkan adalah kadar minimal yang bisa menyelamatkan hidup, tidak boleh berlebihan.Bagi non-muslim, minuman keras dan babi adalah harta mutaqwwim, ini menurut pandangan ulama Hanafiyah. Konsekuensinya, jika terdapat seorang muslim atau non-muslim yang merusak kedua komoditas tersebut, maka berkewajiban untuk menggantinya.

Berbeda dengan mayoritas ulama fiqh, kedua komoditas tersebut termasuk dalam ghair mutaqawwim, sehingga tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Dengan alasan, bagi non-muslim yang hidup di daerah Islam harus tunduk aturan Islam dalam hal kehidupan bermuamalah. Apa yang diperbolehkan bagi muslim, maka dibolehkan juga bagi non-muslim, dan apa yang dilarang bagi muslim, juga berlaku bagi non-muslim.ika harta ghair mutaqawwim dimiliki oleh seorang muslim, maka tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Berbeda dengan non-muslim (yang hidup dalam daerah kekuasaan Islam), jka hewan babinya dibunuh, atau minuman kerasnya dibakar, maka ada kewajiban untuk menggantinya, karena keduanya merupakan al-maal al mutaqawwim bagi kehidupan mereka, ini merupakan pandangan ulama fiqh Hanafiyah.


4. a. Prinsip-prinsip yang harus dimiliki oleh seorang pemimpn dalam mewujudkan Negara yang baik adalah:
1) Jujur, setiap pemimpin harus jujur, terbuka, melaksanakan sesuai dengan peraturan.
2) Bertanggung jawab, bertanggungjawab atas apa yang dilakukan, terhadap yang dipimpin dan terhadap keseluruhan kepemimpinannya.
3) Visioner, dapat berpikir dan melihat jauh ke depan untuk kepentingan organisasi dan orang yang dipimpinnya.
4) Disiplin, disiplin harus dimulai dari pemimpin, agar menjadi contoh teladan bagi yang dipimpinnya.
5) Kerjasama, pemimpin harus mampu bekerja sama dan mengembangkan kerja sama dengan siapa saja untuk mengembangkan organisasi ke arah kemajuan.
6) Adil, mampu adil dalam bertindak dan berperilaku.
7) Peduli terhadap sesama, staf dan organisasi.

4. b. kepemimpinan perempuna menurut para ulama:
Jika kita meninjau kembali sejarah pemerintahan dari zaman Rasulullah sampai masa tabi’ tabi’in, kita tidak akan menemukan contoh seorang wanita yang menjabat kepala negara atau pembantu utama dalam suatu pemerintahan. Namun beberapa ulama telah mencoba mengkaji perihal sejauh mana peranan dan kedudukan wanita dalam pemerintahan ditinjau dari sudut pandang Islam. Kajian mereka menelurkan tiga pendapat:
1) Pendapat yang melarang perempuan menjadi pemimpin dalam sebuah negara, baik tingkat pusat maupun daerah, baik kepala pemerintahan maupun ketua salah satu instansinya. Pendapat ini ditegaskan oleh para ulama dari mazhab Syafi’e, Hambali, dan Maliki;
2) Wanita hanya diperbolehkan menjadi ketua/pemimpin di bidang mahkamah (peradilan) dan tidak sebagai al-imamah al-kubra (khalifah/kepala negara). Dalam pendapat ini, kepemimpinan wanita di dunia peradilan mencakup penanganan semua kasus, kecuali kasus yang bersifat jinayah (kriminal), seperti hudud dan qishash. Pendapat ini dikemukakan ulama mazhab Hanafi; dan
3) Perempuan diperbolehkan menjadi pemimpin di semua bidang (termasuk politik), kecuali sebagai al-imamah al-kubra (khalifah/kepala negara). Pendapat ini diutarakan oleh Imam Ibnu Jarir al-Thabari dan Ibnu Hazmin al-Dhahiri.


Menurut saya perempuan diperbolehkan menjadi pemimpin di semua bidang (termasuk politik), kecuali sebagai al-imamah al-kubra (khalifah/kepala negara) dan Para ulama dan fuqaha dari semua madzhab Islam baik salaf (klasik) maupun khalaf (kontemporer) telah menyepakati bahwa; TIDAK SAH DAN HARAM WANITA MENJADI KEPALA NEGARA Apabila hukum ini dilanggar, maka akan menjadi salah satu sebab kehancuran bangsa dan negara.

Ijma' (konsensus) para ulama tersebut di atas, di dasarkan pada beberapa dalil dan alasan berikut ini:

1) Hadits Rasulullah saw: "Tidak akan berjaya selama-lamanya suatu kaum yang mengangkat wanita / perempuan menjadi kepala negara". (Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam shahihnya, Fathul Baari; kitab al-Fitan 13/ 53, kitab al-Maghazi 8/126, At-Tirmidzi dalam Sunannya, Tuhfatul Ahwadzi; bab al-Fitan 6/541-542, An-Nasa'i dalam Sunannya, bab larangan menempatkan wanita dalam pemerintahan, 8/227 dan Ahmad dalam musnadnya, Fathur Rabbani 19/206-207 dan 23/35).

Sebab disabdakan hadits ini; ketika Rasulullah saw mendengar tentang pengangkatan putri raja Persia (Kisra) yang bernama Buran sebagai pengganti ayahandanya yang telah mangkat. Istimbath (pengambilan hukum) dari hadits ini berdasarkan kaidah ushul : "Kesimpulan hukum diambil dari keumuman lafadz, bukan dari kekhususan sebab".

Para ulama dan fuqaha semua madzhab, baik salaf maupun khalaf sepakat memahami hadits tersebut sebagai larangan keras mengangkat wanita menjadi kepala negara. Mereka semua sepakat bahwa salah satu syarat kepala negara adalah laki-laki.

2) Ijma' (Kesepakatan) tersebut di atas dapat dirujuk kepada berbagai referensi (Tafsir, Hadits, Fiqh, Usul Fiqh dan Siasah Syar'iyah) diantaranya:
a. Madzhab Hanafi: - Syarh Fathul Qadiir oleh Ibnu Hammam, 7/297-298. b. Madzhab Maliki: - Bulghatus Salik liaqrabil Masaalik oleh Ahmad bin Muhammad As-Shaawi, 3/261. - Tafsir al-Qhurthubi, 7/ 171 c. Madzhab SSyafi'i: -Takmilah Al-Majmu' syarhul Muhadzaab Imam Syairaazi oleh Muhammad Najiib al-Muthi'i, 19/114 -Nihayatul Muhtaaj ilaa Syarhil Minhaaj oleh Imam ar-Ramli, 7/ 389 -Al- Ahkaam as-Sulthaniyah oleh Al-Mawardi hal 27. -Fadha'ih al- Bathiniyah oleh Imam al-Ghazali hal, 180. -Al-Mawaqif wa Syyarhuha oleh al-Iji dan al-Jurjani, 8/350. -Al-Irsyaad oleh al-Juwaini , hal. 246-247 -Tafsir Ibnu Kastsir, 1/76. d. Madzhab Hambali: -Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 11/180. e. Madzhab Dhahiri: -Al- Fashlu fi al-Milal wa al- Ahwa' wa an-Nihal oleh Ibnu Hazm, 4/166.
f. Fiqh Kontemporer: - Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, oleh Dr. Wahbah az-Zuhaili , 6/ 693. - Min Fiqhi ad-Daulah, oleh Yusuf al-Qardhawi, hal 165.

3) Jabatan kepala negara dalam wacana hukum Islam termasuk walayah kamilah (kepemimpinan penuh), atau walayah 'aamah (kepemimpinan umum) yang meliputi walayah diniyah ( kepemimpinan agama) dan walayah harbiyah (kepemimpinan militer). Di Indonesia kepala negara otomatis menjadi Pangti ABRI. Maka kedua walayah (kepemimpinan) ini tidak dapat sepenuhnya diemban oleh wanita, sesuai dengan kodrat dan fitrahnya.

4) Allah swt tidak pernah mengangkat wanita menjadi Nabi atau Rasul, ini tidak lain diantaranya karena kenabian dan kerasulan itu meliputi walayah diniyah dan walayah harbiyah sehingga tidak dapat sepenuhnya diamanatkan kepada wanita.

5) Praktek dan aplikasi sejarah semenjak Khilafah Islamiyah di masa Abu Bakar ash-Shiddiq hingga Khilafah Islamiyah di Turki. Tak seorangpun diantara para pemegang kepemimpinan umum tersebut dari kalangan wanita sekalipun pada masa tersebut banyak tokoh wanita yang memiliki keahlian dalam berbagai bidang kehidupan. Fenomena historis ini membuktikan adanya ijma' amali (konsensus implementatif) yang membenarkan pendapat para ulama dan fuqaha tersebut di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Minggu, 12 Juni 2011

Fiqih Muamalah

1. a. Penyaluran atau pembagian zakat kepada mustahiq oleh BAZIS di daerah Bukit Cimanggu City Kelurahan Kedung Badak Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor bersifat hibah (bantuan) dan memperhatikan skala proritas kebutuhan mustahiq. Penyaluran dana zakat bersifat bantuan sesaat, yaitu membantu mustahiq dalam menyelesaikan atau mengurangi masalah yang sangat mendesak / darurat. Penyaluran dana zakat dapat bersifat bantuan pemberdayaan, yaitu membantu mustahiq untuk meningkatkan kesejahteraannya, baik secara perorangan maupun kelompok melalaui program atau kegiatan yang berkesinambungan. Penyaluran dana zakat memproritaskan kebutuhan mustahiq di wilayahnya masing-masing kecuali penyaluran dana zakat yang dilakukan oleh Badan amil Zakat Nasional dapat diberikan kepada mustahiq di seluruh Indonesia. Dana non zakat seperti Infaq, shadaqoh, hibah, waris, wasiat, dan kafarat diutamakan untuk usaha produktif. Dalam hal tertentu, Badan amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat menyalurkan dana zakat ke luar wilayah kerja, dengan terlebih dahulu mengadakan koordinasi dengan Badan Amil Zakat yang berada diatasnya atau yang berada di wilayah tersebut.
b. Menurut saya cara penyaluran atau pembagian zakat di daerah bogor tersebut sangat bagus sekali karena pembagiannya memperhatikan skala prooritas kebutuhan ustahiq, seperti pada penyaluran dana zakat bersifat bantuan sesaat, yaitu membantu mustahiq dalam menyelesaikan atau mengurangi masalah yang sangat mendesak / darurat. Dan penyaluran dana zakat dapat bersifat bantuan pemberdayaan, yaitu membantu mustahiq untuk meningkatkan kesejahteraannya, baik secara perorangan maupun kelompok melalaui program atau kegiatan yang berkesinambungan, itu akan sangat membantu sekali para mustahiq sehingga pembagian dan zakat itu begitu dirasakan oleh para mutahiq.
2. a. Hukum asal dalam muamalah adalah mubah (diperbolehkan) konsen fiqih muamalah untuk kmewujudkan kemasalahatan, menetapkan harga yang kompetitip, meninggalkan inrtervensi yang dilarang, mengahndarkan eksploitasi, memberikan kelenturan dan toleransi, jujur dan amanah.
b. Harta mutaqawim adalah sesuatu yang bisa diambil manfaatnya menurut syara, Harta yang Mutaqawim ini ialah semua harta yang mutaqawim ini ialah semua harta yang baik jenisnya Cara memperoleh dan penggunaannya.misalnya, kerbau halal dimakan oleh umat islam, tetapi Kerbau tersebut disembelih tidak sah menurut syara misalnya dipukul,maka daging kerbau itu Tidak bisa dimanfaatkan karena cara penyembelihannya batal menurut syara. Harta ghair mutaqawim kebalikan dari harta mutaqawim, yakni tidak boleh di ambil manfaaatnya Baik jenisnya, cara memperolehnya maupun cara penggunaannya. Misalnya babi termasuk harta Ghair mutaqawim, karena jenisnya, sepatu yang diperoleh dengan cara mencuri termasuk ghair Mutaqawim karena cara memperolehnya yang haram . uang disumbangkan untuk membangun Cara pelacuran, termasuk harta ghair mutaqawim karena penggunaannya itu.
c. al-maal gairu al mutaqawwim adalah harta yang belum diraih atau dicapai dengan suatu usaha, maksudnya harta tersebut belum sepenuhnya berada dalam genggaman kepemilikan manusia, seperti mutiara di dasar laut, minyak di perut bumi, dan lainnya

Atau harta tersebut tidak diperbolehkan syara' untuk dimanfaatkan, kecuali dalam keadaan darurat, seperti minuman keras. Bagi seorang muslim, harta gairu al mutaqawwim tidak boleh dikonsumsi, kecuali dalam keadaan darurat. Namun demikian, yang diperbolehkan adalah kadar minimal yang bisa menyelamatkan hidup, tidak boleh berlebihan.Bagi non-muslim, minuman keras dan babi adalah harta mutaqwwim, ini menurut pandangan ulama Hanafiyah. Konsekuensinya, jika terdapat seorang muslim atau non-muslim yang merusak kedua komoditas tersebut, maka berkewajiban untuk menggantinya.

Berbeda dengan mayoritas ulama fiqh, kedua komoditas tersebut termasuk dalam ghair mutaqawwim, sehingga tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Dengan alasan, bagi non-muslim yang hidup di daerah Islam harus tunduk aturan Islam dalam hal kehidupan bermuamalah. Apa yang diperbolehkan bagi muslim, maka dibolehkan juga bagi non-muslim, dan apa yang dilarang bagi muslim, juga berlaku bagi non-muslim.ika harta ghair mutaqawwim dimiliki oleh seorang muslim, maka tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Berbeda dengan non-muslim (yang hidup dalam daerah kekuasaan Islam), jka hewan babinya dibunuh, atau minuman kerasnya dibakar, maka ada kewajiban untuk menggantinya, karena keduanya merupakan al-maal al mutaqawwim bagi kehidupan mereka, ini merupakan pandangan ulama fiqh Hanafiyah.


4. a. Prinsip-prinsip yang harus dimiliki oleh seorang pemimpn dalam mewujudkan Negara yang baik adalah:
1) Jujur, setiap pemimpin harus jujur, terbuka, melaksanakan sesuai dengan peraturan.
2) Bertanggung jawab, bertanggungjawab atas apa yang dilakukan, terhadap yang dipimpin dan terhadap keseluruhan kepemimpinannya.
3) Visioner, dapat berpikir dan melihat jauh ke depan untuk kepentingan organisasi dan orang yang dipimpinnya.
4) Disiplin, disiplin harus dimulai dari pemimpin, agar menjadi contoh teladan bagi yang dipimpinnya.
5) Kerjasama, pemimpin harus mampu bekerja sama dan mengembangkan kerja sama dengan siapa saja untuk mengembangkan organisasi ke arah kemajuan.
6) Adil, mampu adil dalam bertindak dan berperilaku.
7) Peduli terhadap sesama, staf dan organisasi.

4. b. kepemimpinan perempuna menurut para ulama:
Jika kita meninjau kembali sejarah pemerintahan dari zaman Rasulullah sampai masa tabi’ tabi’in, kita tidak akan menemukan contoh seorang wanita yang menjabat kepala negara atau pembantu utama dalam suatu pemerintahan. Namun beberapa ulama telah mencoba mengkaji perihal sejauh mana peranan dan kedudukan wanita dalam pemerintahan ditinjau dari sudut pandang Islam. Kajian mereka menelurkan tiga pendapat:
1) Pendapat yang melarang perempuan menjadi pemimpin dalam sebuah negara, baik tingkat pusat maupun daerah, baik kepala pemerintahan maupun ketua salah satu instansinya. Pendapat ini ditegaskan oleh para ulama dari mazhab Syafi’e, Hambali, dan Maliki;
2) Wanita hanya diperbolehkan menjadi ketua/pemimpin di bidang mahkamah (peradilan) dan tidak sebagai al-imamah al-kubra (khalifah/kepala negara). Dalam pendapat ini, kepemimpinan wanita di dunia peradilan mencakup penanganan semua kasus, kecuali kasus yang bersifat jinayah (kriminal), seperti hudud dan qishash. Pendapat ini dikemukakan ulama mazhab Hanafi; dan
3) Perempuan diperbolehkan menjadi pemimpin di semua bidang (termasuk politik), kecuali sebagai al-imamah al-kubra (khalifah/kepala negara). Pendapat ini diutarakan oleh Imam Ibnu Jarir al-Thabari dan Ibnu Hazmin al-Dhahiri.


Menurut saya perempuan diperbolehkan menjadi pemimpin di semua bidang (termasuk politik), kecuali sebagai al-imamah al-kubra (khalifah/kepala negara) dan Para ulama dan fuqaha dari semua madzhab Islam baik salaf (klasik) maupun khalaf (kontemporer) telah menyepakati bahwa; TIDAK SAH DAN HARAM WANITA MENJADI KEPALA NEGARA Apabila hukum ini dilanggar, maka akan menjadi salah satu sebab kehancuran bangsa dan negara.

Ijma' (konsensus) para ulama tersebut di atas, di dasarkan pada beberapa dalil dan alasan berikut ini:

1) Hadits Rasulullah saw: "Tidak akan berjaya selama-lamanya suatu kaum yang mengangkat wanita / perempuan menjadi kepala negara". (Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam shahihnya, Fathul Baari; kitab al-Fitan 13/ 53, kitab al-Maghazi 8/126, At-Tirmidzi dalam Sunannya, Tuhfatul Ahwadzi; bab al-Fitan 6/541-542, An-Nasa'i dalam Sunannya, bab larangan menempatkan wanita dalam pemerintahan, 8/227 dan Ahmad dalam musnadnya, Fathur Rabbani 19/206-207 dan 23/35).

Sebab disabdakan hadits ini; ketika Rasulullah saw mendengar tentang pengangkatan putri raja Persia (Kisra) yang bernama Buran sebagai pengganti ayahandanya yang telah mangkat. Istimbath (pengambilan hukum) dari hadits ini berdasarkan kaidah ushul : "Kesimpulan hukum diambil dari keumuman lafadz, bukan dari kekhususan sebab".

Para ulama dan fuqaha semua madzhab, baik salaf maupun khalaf sepakat memahami hadits tersebut sebagai larangan keras mengangkat wanita menjadi kepala negara. Mereka semua sepakat bahwa salah satu syarat kepala negara adalah laki-laki.

2) Ijma' (Kesepakatan) tersebut di atas dapat dirujuk kepada berbagai referensi (Tafsir, Hadits, Fiqh, Usul Fiqh dan Siasah Syar'iyah) diantaranya:
a. Madzhab Hanafi: - Syarh Fathul Qadiir oleh Ibnu Hammam, 7/297-298. b. Madzhab Maliki: - Bulghatus Salik liaqrabil Masaalik oleh Ahmad bin Muhammad As-Shaawi, 3/261. - Tafsir al-Qhurthubi, 7/ 171 c. Madzhab SSyafi'i: -Takmilah Al-Majmu' syarhul Muhadzaab Imam Syairaazi oleh Muhammad Najiib al-Muthi'i, 19/114 -Nihayatul Muhtaaj ilaa Syarhil Minhaaj oleh Imam ar-Ramli, 7/ 389 -Al- Ahkaam as-Sulthaniyah oleh Al-Mawardi hal 27. -Fadha'ih al- Bathiniyah oleh Imam al-Ghazali hal, 180. -Al-Mawaqif wa Syyarhuha oleh al-Iji dan al-Jurjani, 8/350. -Al-Irsyaad oleh al-Juwaini , hal. 246-247 -Tafsir Ibnu Kastsir, 1/76. d. Madzhab Hambali: -Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 11/180. e. Madzhab Dhahiri: -Al- Fashlu fi al-Milal wa al- Ahwa' wa an-Nihal oleh Ibnu Hazm, 4/166.
f. Fiqh Kontemporer: - Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, oleh Dr. Wahbah az-Zuhaili , 6/ 693. - Min Fiqhi ad-Daulah, oleh Yusuf al-Qardhawi, hal 165.

3) Jabatan kepala negara dalam wacana hukum Islam termasuk walayah kamilah (kepemimpinan penuh), atau walayah 'aamah (kepemimpinan umum) yang meliputi walayah diniyah ( kepemimpinan agama) dan walayah harbiyah (kepemimpinan militer). Di Indonesia kepala negara otomatis menjadi Pangti ABRI. Maka kedua walayah (kepemimpinan) ini tidak dapat sepenuhnya diemban oleh wanita, sesuai dengan kodrat dan fitrahnya.

4) Allah swt tidak pernah mengangkat wanita menjadi Nabi atau Rasul, ini tidak lain diantaranya karena kenabian dan kerasulan itu meliputi walayah diniyah dan walayah harbiyah sehingga tidak dapat sepenuhnya diamanatkan kepada wanita.

5) Praktek dan aplikasi sejarah semenjak Khilafah Islamiyah di masa Abu Bakar ash-Shiddiq hingga Khilafah Islamiyah di Turki. Tak seorangpun diantara para pemegang kepemimpinan umum tersebut dari kalangan wanita sekalipun pada masa tersebut banyak tokoh wanita yang memiliki keahlian dalam berbagai bidang kehidupan. Fenomena historis ini membuktikan adanya ijma' amali (konsensus implementatif) yang membenarkan pendapat para ulama dan fuqaha tersebut di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls